Analisa Masalah Koalisi Antar Partai Menurut 3 Orang Ahli
https://gilaakses.blogspot.com/2014/04/analisa-masalah-koalisi-antar-partai.html
Koalisi untuk Kepentingan Siapa?
ANDI IRAWAN
(DOSEN UNIVERSITAS BENGKULU)
Koalisi. Tema ini merupakan isu sentral dalam banyak pembicaraan publik selepas pemilu legislatif 9 April yang lalu. Berkaitan dengan pembicaraan tentang koalisi ini, menurut saya, hal ini tidak boleh dibiarkan hanya menjadi kepentingan elite. Koalisi harus ditempatkan pada wacana publik dan untuk kepentingan publik.
Artinya, dalam konteks ini, publik harus mencermati dan menilai bagaimana para elite itu bermanuver dalam pembentukan koalisi politik mereka, yang dilakukan untuk menentukan pasangan kandidat pemimpin tertinggi eksekutif di negara ini. Kalangan masyarakat madani perlu mengawal agar tujuan pembentukan koalisi tetap dalam lingkup public interest, bukan elite interest. Saya kira penting bagi media cetak ataupun elektronik, para aktivis media sosial, intelektual, mahasiswa, dan para pengamat untuk bersikap kritis terhadap pembentukan koalisi dari sejumlah kekuatan politik. Diduga kuat mereka akan tampil dalam pemilihan presiden 9 Juli mendatang. Jadi, yang perlu dipertanyakan, apakah hal itu berorientasi publik atau tidak?
Isu utama koalisi tidak boleh dibiarkan berkisar tentang siapa yang harus dipasangkan dengan calon presiden tertentu. Tidak pula boleh dibiarkan hal ini hanya berbicara tentang partai apa bergabung kepada partai apa, lalu, berapa poros yang akan hadir dalam konstestasi calon wakil presiden dan calon presiden 9 Juli nanti. Sebab, ketika hanya berbicara masalah itu, tidak akan ada titik temunya dengan kepentingan publik.
Kita harus mengupayakan bahwa koalisi yang terbentuk akan memberi ekspektasi positif tentang Indonesia selama 2014-2019. Sebagai contoh, apa kontribusi koalisi yang terbentuk terhadap masalah kesejahteraan rakyat, khususnya dalam aspek kesenjangan ekonomi yang semakin meningkat dan penurunan angka kemiskinan yang subtansial? Perlu disadari, garis kemiskinan yang kita pakai sebagai dasar perhitungan angka kemiskinan tidak mencerminkan kesepakatan pandangan dunia tentang kemiskinan yang sesungguhnya.
Garis kemiskinan yang disepakati oleh dunia internasional adalah penghasilan US$ 2 per hari per kapita, sedangkan kita menggunakan angka sekitar US$ 1 per hari per kapita. Parameter internasional harusnya berani ditetapkan sebagai garis kemiskinan nasional guna menentukan angka kemiskinan. Dengan demikian, penurunan angka kemiskinan yang terjadi benar-benar keberhasilan subtansial yang diakui dunia, bukan keberhasilan yang bersifat pencitraan. Pemerintah selama ini bias pada pertumbuhan ekonomi dan abai terhadap masalah keadilan ekonomi.
Kita memang telah termasuk dalam kelompok negara dengan pendapatan menengah-atas dengan pendapatan per kapita sebesar US$ 3.542,9. Tapi hal itu menjadi tidak bermakna ketika kita memahami bahwa yang menikmati kue pembangunan Indonesia itu sebenarnya tidak proporsional. Ada 10 persen penduduk, jika merujuk pada Indikator Pembangunan Dunia dari Bank Dunia pada 2013, yang memiliki 65,4 persen dari aset total nasional. Dalam hal ini, Indonesia berada di peringkat 17 negara yang kesenjangan ekonominya paling tinggi dari 150 negara yang disurvei.
Tidak mengherankan jika kemudian angka indeks Gini juga semakin melebar dari 0,329 pada 2002 menjadi 0,413 pada 2011, apalagi kalau dibandingkan pada era Orde Baru yang sebesar 0,3. Hal itu menunjukkan kesenjangan ekonomi antara orang kaya dan miskin di era Reformasi ini semakin melebar.
Ketimpangan (kesenjangan) ekonomi, ditambah dengan semakin sulitnya akses rakyat miskin terhadap pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan, adalah bahaya laten yang bukan saja bisa menimbulkan goncangan sosial. Seperti yang dikemukakan Stiglitz, dalam bukunya, The Price of Inequality (2012), hal ini menjadi sesuatu yang bisa menghancurkan demokrasi itu sendiri. Pemerintah di masa mendatang harus berani mengambil sikap politik yang impelementatif dalam mengatasi masalah kesenjangan ekonomi yang semakin melebar dan menurunkan angka kemiskinan yang subtansial.
Untuk itu, DPR dan pemerintah periode 2014–2019 (hasil koalisi yang terbentuk) harus berani menjadikan angka penurunan kemiskinan dan kesenjangan ekonomi menjadi paremeter penting pembangunan, yakni dengan cara memasukkan parameter-parameter tersebut menjadi asumsi dasar dan target penting dalam APBN. Belum ada satu pemerintah pun pada era Reformasi ini yang berani menjadikan penurunan kesenjangan ekonomi dan penurunan angka kemiskinan signifikan sebagai kemauan politik (political will) dalam APBN yang mereka susun.
Masyarakat madani perlu mengedukasi para pemilih untuk memaksa para politikus yang bermanuver tentang koalisi calon presiden agar tidak sekadar berbicara tentang siapa mendukung siapa dan mendapat apa, tapi bagaimana koalisi itu memberi ekspektasi tentang Indonesia yang lebih adil, makmur, dan sejahtera. Bahkan, sebaliknya, kekuatan-kekuatan politik yang hanya mempertontonkan koalisi yang sarat dengan kepentingan elite layak dihukum. Caranya adalah dengan tidak memilih kekuatan koalisi tersebut dalam pemilihan presiden 9 Juli nanti.
Darurat Koalisi
M. NAFIUL HARIS (PENELITI)
Hasil pemilihan legislatif memperlihatkan perubahan-perubahan penting dalam peta politik Indonesia. Kendati hasil penghitungan suara resmi masih kita tunggu, hasil hitung cepat oleh berbagai lembaga survei menunjukkan fakta-fakta menarik. Tiga besar perolehan suara diraih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI), disusul Partai Golkar, dan Partai Gerindra.
Berdasarkan ambang batas presiden 20 persen, tidak ada partai yang bisa mengajukan calon presiden tanpa berkoalisi. Kegagalan PDIP meraih target dan terlebih apabila juga gagal meraih ambang batas presiden, sudah pasti akan memperoleh perhatian serius partai tersebut. Terutama terkait dengan pendeklarasian Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon presiden. Demikian pula partai lain, mereka juga harus berkoalisi agar bisa mengajukan capres dan cawapres. Kondisi itu memaksa para elite partai berpikir keras untuk menggandeng partai lain agar mau diajak berkoalisi untuk memajukan capres dan cawapres. Kini, para petinggi parpol mulai menghitung untung-rugi mengajak kolega lain bergabung. Mereka harus penuh perhitungan. Memilih rekan berkoalisi harus menguntungkan, bukan merugikan.
Karena itu, PDIP jangan memilih parpol yang justru bisa menjadi bumerang bila menggandengnya. Katakanlah orang banyak mendukung Jokowi, tapi begitu menggandeng cawapres dari parpol yang dipimpin tokoh bermasalah, tentu langkah itu negatif. Koalisi memang tidak mudah. Bisa saja koalisi memperkuat posisi di parlemen, tapi menjatuhkan di depan rakyat. Memang pemerintahan yang kuat di parlemen itu penting agar tidak menjadi bulan-bulanan anggota legislatif. Jadi, kunci koalisi haruslah demi keuntungan rakyat. Siapa pun yang digandeng dalam koalisi, keluarannya harus benar-benar demi orientasi pada kepentingan rakyat.
Apa pun detail dan bentuk koalisi, pijakannya adalah kepentingan rakyat. Jika pun di parlemen diganggu legislator-legislator busuk, jika berjuang demi kesejahteraan rakyat, masyarakat akan berada di belakang pemerintah. Karena itu, PDIP sebagai pemenang pemilu harus membuat perhitungan agar koalisi yang dibangun mampu menerjemahkan janji-janji kampanye menjadi kenyataan. PDIP tidak boleh memikirkan kepentingan partai sebagai tolok ukur berkoalisi.
Gejala perilaku pemilih dengan sikap "Jokowi yes, PDIP no" tampaknya telah terbukti dengan kegagalan PDIP meraih suara mayoritas. Elektabilitas Jokowi tidak signifikan mendongkrak popularitas PDIP. Fenomena itu perlu menjadi bahan introspeksi bagi PDIP dan menjadi pelajaran bahwa memenangi pemilu tidak cukup bermodal efek Jokowi. Hasil hitung cepat itu menunjukkan pula kecerdasan pemilih, bahwa pemilih bisa membedakan antara partai dan figur. Gambaran ke depan yang sudah jelas tampak adalah koalisi.
Parlemen akan terdiri atas kekuatan-kekuatan partai yang terdistribusi secara merata. Pemerintahan koalisi tidak terhindarkan lagi. Publik berharap pemerintahan mendatang tidak terjebak pada koalisi bagi-bagi kekuasaan yang gagap memberikan solusi bagi persoalan-persoalan bangsa. Sekali lagi, kepentingan rakyat harus diletakkan di garda terdepan dalam menghitung untung dan rugi koalisi. Percayalah, jika mengutamakan masyarakat, sampai kapan pun mereka akan dibela. Sebaliknya, jika melupakan rakyat, sampai kapan pun akan dimusuhi.
Merindukan Pemimpin Sejati
IVAN HADAR
(DIREKTUR EKSEKUTIF INSTITUTE FOR DEMOCRACY EDUCATION)
Dalam Pemilu 2014 ini, semakin terasa kerinduan rakyat akan sosok pemimpin sejati, yaitu dia yang dicintai dan dipercaya luas. Tindakannya terasa dipenuhi niat baik untuk kemaslahatan rakyat. Ketegasannya, menyiratkan kecintaan pada keadilan. Keberpihakannya, teruji untuk yang lemah demi kesejahteraan semua. Perilakunya tulus, bukan sekadar pencitraan. Ia menjadi teladan, bersih dari tindakan koruptif dan manipulatif, memiliki sense of crisis serta menunjukkan keprihatinan atas berbagai beban yang sedang dan bakal dipikul rakyat, terutama rakyat miskin.
Dalam gegap gempita kampanye Pemilu 2014, saya teringat akan buku Jean Ziegler, Les Nouveaux Maitres du Monde (2002). Dalam bab tentang demokrasi, Ziegler bercerita tentang Swedia, Finlandia, Norwegia, dan Denmark, di mana para pejabat tingginya berjalan kaki, naik sepeda, atau menggunakan kendaraan umum ke kantor. Seorang presiden yang berangkat kerja dengan mobil dikawal belasan mobil dan sepeda motor polisi dengan sirene meraungraung diyakini mengurangi suara untuk terpilih kembali.
Rumah para pemimpin terkenal Eropa, seperti Olof Palmes (Swedia) dan Bruno Kresky (Austria), pun terbilang sederhana dan ditempati sepanjang paruh terakhir hidup mereka. Jelas, jauh berbeda dengan "istana" kebanyakan pemimpin negara berkembang, termasuk Indonesia. Ziegler menarik kesimpulan, semakin miskin sebuah bangsa, sering kali semakin mewah kehidupan dan "perilaku aneh" elite penguasanya. Hal yang lumrah di negeri ini. Betapa tidak.
Tampaknya, dari tiga slogan revolusi Prancis yang mewarnai sistem demokrasi, terjadi kecenderungan berikut. Ketika "kebebasan" politik merebak secara global, termasuk di negeri ini, padanannya berupa "kesetaraan" dan "persaudaraan" nyaris dilupakan. Welfare state yang mewajibkan negara memberi perlindungan bagi warga miskin dianggap "jalan sesat" Eropa. Dalam paradigma neo-liberal yang mendominasi praktek ekonomi global saat ini, pemerataan dianggap bukanlah alat ampuh dalam melawan kemiskinan. Bahkan hal tersebut dianggap memperparah keadaan. Semua itu dilandasi argumentasi yang sekilas terkesan masuk akal (plausible).
Pertama, pemerataan akan mengurangi kuota investasi. Setiap rupiah yang konon diinvestasikan kaum kaya bersifat produktif, sebaliknya hanya akan dikonsumsi kaum papa. Kedua, sebagian besar bantuan tidak akan sampai sasaran karena dikorup birokrasi. Ketiga, yang menjadi asumsi Bank Dunia, pemerataan akan membahayakan stabilitas politik dan bisa bermuara pada konflik kekerasan karena membuat marah para "elite" (World Bank Report, Attacking Poverty, 2000:56f).
Namun, bagi Erhard Berner (Hilfe-lose Illusionen, E+Z, 2005:6), semua itu secara teoretis rapuh, secara empiris salah, dan bila dipraktekkan menjadi sesuatu yang sinis. Sebab, apa salahnya orang miskin menggunakan dana bantuan untuk membeli makan, membayar uang sekolah, dan menebus obat? Asumsi kelompok elite akan marah dan mendestabilisasi pemerintahan di negara berkembang yang menjalankan strategi pembangunan pro-poor mungkin realistis. Namun, apakah layak untuk ikut membatasi kebijakan itu? Sementara itu, asumsi orang miskin sama sekali tidak berinvestasi adalah sebuah ignoransi.
Bagi pembangunan, yang lebih penting daripada "investasi produktif" adalah investasi bagi human capital masyarakat miskin, terutama kesehatan dan pendidikan anak-anak. Dulu, banyak negara melakukan itu dan kini menuai hasil, misalnya Malaysia dan Korea Selatan. Tanpa itu, berlaku "lingkaran setan". Peningkatan tenaga kerja murah akan menurunkan pendapatan yang tidak memungkinkan mereka untuk sehat dan pintar.
Dengan pertumbuhan ekonomi (termasuk pro-poor growth), kondisi ini tidak bisa diatasi. Bagi peneliti kemiskinan Michael Lipton, "Kesenjangan ekstrem adalah penyebab utama terganjalnya pertumbuhan." Kemiskinan massal, menurut dia, bukan hanya akibat stagnasi ekonomi, tapi juga penyebab terpenting stagnasi ekonomi itu sendiri (Propoor Growth and Pro-growth Poverty Reduction: Meaning, Evidence, and Policy Implications, 2000).
Bersama Eastwood, Lipton menganjurkan strategi cerdas pro-growth poverty reduction. Dalam kerangka ini, pengeluaran sosial untuk pendidikan dan kesehatan bukan biaya sia-sia, melainkan in vestasi produktif dan pilar kebijakan ekonomi. Cerita sukses di Brasilia, Vietnam, dan beberapa negara industri baru membenarkan analisis Lipton.
Pada tataran makroekonomi, Howard White (National and International Redistribution as Tools for Poverty Reduction, 2001) secara empiris menunjukkan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi lewat pemerataan. Pemerataan ikut meningkatkan kebebasan politik, kesetaraan, dan persaudaraan anak bangsa.
Karena itu, tanpa terwujudnya kesetaraan dan persaudaraan yang berarti pemerataan belum dijadikan paradigma yang mewarnai kebijakan ekonomi sebuah bangsa, siapa pun yang pernah menjadi pemimpin kelak akan dilupakan, atau bahkan dihujat oleh rakyatnya sendiri.
Sumber : Tempo